Combine as One
Chapter 4
Park Hyun Ra
Aku kaget saat akan membayar makananku. Bukannya aku tadi sudah membawa dompet? Aku yakin seyakin yakinnya. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak karuan. Aku meninggalkan makananku di meja kasir. Berlari menuju rumah sakit.
Sulit untuk masuk ke dalam rumah sakit karena banyak orang berkumpul di depan rumah sakit. Menyalakan lilin sepertinya. Beberapa diantaranya menangis dengan hebat. Sepertinya rombongan itu belum cukup saja, masih terus berdatangan orang-orang yang lain. Sepertinya ada artis yang sakit parah, atau emm entahlah mungkin akan meninggal. Aku melihat beberapa tulisan besar ucapan semoga lekas sembuh dan wajah yang tidak terlalu jelas karena hari masih pagi.
Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, ada yang lebih penting, Min Chan. Perasaanku sungguh tak nyaman.
Aku tiba di kamar dan tak menemuinya. Aku panik dan bingung, berteriak-teriak. Hingga seorang suster masuk dan menenangkanku. Aku duduk sementara suster itu mencari Min Chan. Aku mengalami mual yang biasa disebut khawatir berlebihan.
Mungkin hampir 15 menit aku menunggu. Hingga beberapa orang masuk sambil mendorong tempat tidur. Tubuhnya di tutup kain putih. Aku seperti tersengat listrik. Aku hampir pingsan. Aku berjalan mendekatinya. Membuka kain tersebut. Dugaanku tepat, Min Chan. Aku menjerit dan menangis histeris. Aku menyentuh tangannya dan menggenggamnya, dingin. Benarkah dia pergi? Bukankah dia tadi terlihat sangat sehat?
Aku menciummi tangannya. Melihat wajahnya, dia tersenyum bahagia. Terlalu bahagia untuk ukuran senyum Min Chan. Tangan kirinya seperti habis menggenggam sesuatu.
“Dia kenapa?” tanyaku. Tidak percaya. Masih menggenggam tangannya.
“Ditemukan begitu di atas kursi rodanya, tidak ada tanda kecelakaan atau luka lain selain lukanya kemarin,” jelas seseorang.
Aku tidak peduli ini Rumah Sakit atau apa. Aku juga tidak peduli bahwa aku dokter di sini, aku hanya ingin Min Chan.
“Min Chan, bangunlah. Bangun, Min Chan,” kataku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
“Dia sudah pergi, Dok,” kata seorang suster.
“Dia tidak pergi. Yakan, Min Chan? Kau gak akan meninggalkan Unni kan?”
“Kami hanya mau memberitahumu bahwa dia telah mendonorkan tubuhnya. Bolehkan kami mengambilnya sekarang?” tanya seorang perawat sambil menyodorkan surat donor Min Chan.
“Ne, tentu, apa pun yang membuatnya bahagia,” kataku sambil melepaskan genggamanku.
Min Chan telah pergi. Meninggalkan aku. Setega itukah Tuhan padaku? Bukankah dia baru saja mengambil Umma? Maksutku, aku kan belum bisa menerima itu walaupun sudah beberapa tahun. Aku tidak ingin Min Chan pergi. Siapa yang akan mengurusnya di sana? Siapa yang nanti akan mendengarkan tangisku? Aku sendirian. Seakan masuk ke lubang yang gelap, pandanganku mulai kabur dan semuanya menjadi gelap.
“Min Chan di mana?” tanya Chan Gi begitu aku sadar.
Aku tersedak saat meminum espresso hangatku.
“Aku tidak melihat dia,” katanya lagi.
“Ti-dak akan pernah me-li-hat dia… lagi,” kataku.
“Maksutnya?”
“Dia… … per-gi. Benar-benar…” aku menghela nafas panjang untuk menyelesaikannya, “pergi.”
“Bukankah tadi pagi kau bilang Min Chan baik-baik saja?” tanyanya syook.
“Tadinya. Aku juga tak tau,” jawabku menyandarkan tubuhku yang terasa terlalu berat ini ke tembok.
“Dia pergi?”
Aku diam saja.
“Bagaimana bisa?” tanyanya lagi.
“Aku tidak tau. Dia ditemukan begitu.”
“Tidak ada luka lain…” lanjutku.
“Aku tidak mengerti,” ucapnya frustasi.
“Aku lebih tidak mengerti.”
Aku menyandarkan tubuhku ke bahu Chan Gi. Aku tidak sanggup kehilangan lagi, setelah Umma. Tapi aku selalu dipaksa kehilangan. Jika seseorang yang menjadi tumpuanku pergi, ke mana lagi aku harus bertumpu di saat terjatuh?
***
Karangan bunga terus-menerus datang. Aku tidak menangis. Kelewat lelah mungkin. Aku tidak berbicara. Tidak merasakan apa-apa. Berasa hampa? Mungkin. Aku hanya butuh Min Chan, Park Min Chan, satu-satunya adikku.
Appa datang pagi hari. Menangis di depan pintu saat melihat peti Min Chan. Teriakkannya mengiris hatiku. Hidup ini sulit. Tapi menerima kematian seseorang yang kau cintai jauh lebih sulit.
Min Chan dikuburkan. Aku tidak mengetahui bagaimana tanah yang tadinya berupa lubang tiba-tiba sudah tertutup? Begitu cepatnya prosesi pemakaman itu atau aku yang terlalu lama melamun? Aku menabur bunga di atas pusaranya. Menaruh buket bunga di atasnya. Cakram warnanya tidak beraturan, tulip ungu, anggrek, sunflower, mawar, lily, krysan, dan daisy. Aku mengelus pusaranya. Masih tidak percaya. Kepalaku pusing.
Hyun Ji, teman terdekat Min Chan menangis di sampingku. Ketera sekali dia sangat kehilangan Minchan. Berkali-kali dia mengucapkan bahwa Minchan adalah satu-satunya orang yang mau menerimanya dengan baik. Tidakkah dia mengerti tangisannya semakin memilukan hatiku? Bodoh aku kelewat sensitive. Atau justru menyalahkan semua orang atas ketidakadilan ini? Terserah. Aku tidak peduli.
***
Aku memutuskan meninggalkan Seoul, terlalu banyak kenangan Min Chan di sana-sini. Aku pergi ke Inggris. Menempuh pendidikan S2 untukku. Meninggalkan segala memori pahitku di Korea.
***
Choi Minho
Aku mengemudi dengan kecepatan yang cukup tinggi. Berharap bisa sampai di dorm lebih cepat. Aku gak mau terjebak oleh rombongan Shawol. Bukannya aku sombong, tapi aku kan capek banget hari ini. Kalo aku terjebak dan serangan jantung di tengah-tengah ulang tahun kan gak lucu.
Sebuah mobil Honda Jazz meluncur di belakangku, mencoba menyalipku. Mobil kami berdampingan. Aku kaget karena tiba-tiba sebuah truck oleng. Aku mencoba mengerem, tapi gagal, remnya tidak mempang. Aku panik. Truck tersebut semakin dekat saja, lampunya mulai menyilaukan mataku. Aku meraih kado terakhir dari fansku. Boneka teddy yang memegang bola basket dengan tulisan saranghae di atasnya. Biasa sih, tapi setidaknya aku mengingat jelas wajah gadis itu, membuat boneka ini berharga. Aku memasukkannya ke dalam jaketku.
Jadi beginikah setting kematianku? Ironis. Tapi cukup baik. Aku tidak perlu merepotkan para Shawol. Mereka kan hanya bakal tau aku mati karena tabrakan. Cukup adil. Aku memejamkan mata.
Sedetik kemudian, truck tersebut benar-benar menabrak mobil kami. Aku syok mendengar suara berdebam. Mobilku terguling, miring. Kacanya pecah. Satu hal yang pasti, aku kaget. Jantungku seakan melompat kuat dan menunjukkan kekuatannya. Aku yakin tubuhku tak terluka parah, tapi dadaku terlalu sesak. Rasanya terlalu sakit, tidak tergambarkan. Aku tidak merasakan kakiku, tanganku, bahkan pandanganku. Aku pusing dan dadaku sakit, aku mendekap dada dan bonekaku, mencoba rileks tapi sia-sia. Parah, aku tidak kuat menahannya, mungkin aku tidak mati karena tabrakan ini, tapi aku mati karena jantungan pada tabrakan ini, konyol.
Aku mulai memikirkan wajah-wajah orang yang aku sayangi, Umma, Appa, Minsuk, Hyung-Hyungku, Taemin, Hyung-hyung di SJ dan DBSK, YoonA, Yuri, Goo Hara, dan lainnya, semuanya berputar membentuk rentetan film panjang. Ditutup oleh wajah gadis yang memberiku boneka ini. Aku menutup mataku dan semuanya gelap. Selamat tinggal… Aku menyayangi kalian…
***
“Minho, aku mencintaimu. Seandainya aku punya cara untuk menghidupkanmu.”
“Hai, Minho. Aku Minchan. Kau menyimpan hadiahku tadi ya?”
“Seharusnya, kau hari berulang tahun kan Minho? Saengil Chukkae, Oppa.”
“Tuhan, jika kau ijinkan, bolehkah aku menukar nyawaku dengannya? Aku mencintai laki-laki ini Tuhan. Tuhan, aku yakin jika dia hidup dia akan lebih berarti daripada aku. Aku tidak akan bunuh diri. Aku hanya ingin Kau menukar nyawaku dengannya. Boleh ya Tuhan? Plis, plis. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin bagiMu? Tapi sebelum itu, biarkan aku menyampaikan beberapa hal untuknya…… Minho, aku mencintaimu. Aku memang fansmu tapi kau seseorang yang emh, tidak bisa digambarkan. Seseorang yang bisa menjadi motivasiku selama beberapa tahun ini. Minho, jika Tuhan mengijinkan niatku ini, maukah kau menjaga nyawamu nanti? Cintailah fansmu. Mereka sangat menyayangimu. Mungkin lebih daripada aku semoga kita bertemu suatu saat. Terimakasih Minho ……Tuhan, aku sudah selesai. Tolong kabulkanlah doaku tadi.”
“Aku mencintamu, Hyun Ra, Appa… dan kau, Minho.”
Suara itu terus-menerus terulang. Aku sampai hafal setiap perkataannya. Aku tidak merasakan apa pun kecuali gelap. Bukankah aku seharusnya sudah mati? Ini surga atau neraka? Ini putih atau hitam? Keadaannya aneh.
Suara itu tak mau berhenti. Min Chan? Siapa dia? Boneka? Aku tidak mengerti. Rumit. Mungkin aku perlu menanyakan hal seperti ini kepada Key Hyung atau Jjong Hyung? Atau justru Minsuk? Tapi kupikir Changmin Hyung lebih mengerti aku. Ah bodoh, mikir apa sih aku. Mereka kan berada di dunia. Dan aku? Entahlah aku sendiri tidak tau ini di mana.
Aku mulai merasakan sesuatu. Kehangatan mulai menjalari tubuhku. Sepertinya. Aku mulai mendapati kakiku, kemudian naik-naik-dan terus naik. Hingga aku mendengar detak jantungku sendiri. Masihkah aku punya jantung? Otakku mulai terasa ringan. Aneh. Aku tidak cukup mengerti tentang ini. Ah sudahlah. Biarkan Tuhan yang mengurus.
Suara itu berhenti, kemudian aku melihat ingatan tabrakan tadi. Seperti ingatan orang lain, bukan aku, mungkin orang dalam mobil Honda Jazz tadi? Aku tidak tahu. Gambarannya berubah. Kebanyakan besar tentang aku, atau lebih tepatnya perasaan orang itu terhadapku, aku merasa tersanjung dicintai dengan sebegitu besarnya. Aku melihat wajahku, selalu wajahku, mulai dari poster, album, konser, bahkan aku mendengar suaraku. Siapakah dia? Aku bingung memahami semua ini. Gila. Cukup. Ini terlalu, ah tidak tergambarkan.
Semua berhenti saat cahaya mulai menyilaukan mataku. Sebenarnya tidak terlalu terang, tapi aku kan baru saja dari tempat yang terlalu gelap jadi kepalaku pusing saat terkena cahaya itu. Aku melihat wajah-wajah keluargaku, teman-temanku. Seindah inikah surga? Bukankah seharusnya mereka tidak di sini? Atau, aku yang tidak mati? Aku meragukan pikiran terakhirku.
“Minho, kau bangun juga akhirnya?” suara Minsuk membuka. Tepat di dekat telingaku.
Beberapa orang menangis, aku yakin itu Umma dan Taemin. Ah ya Taemin.
“Di mana aku?” tanyaku. Aku sulit berbicara.
“Rumah sakit, Minho. Tabrakan itu membuatmu koma semalaman, untung operasi berjalan lancar.”
“Aku tidak punya jantung lagi ya?” tanyaku.
Semua terdiam. Sepi.
“Jantung buatan kan? Ah untuk apa aku hidup, Umma, Appa bukankah ini akan menyusahkan kalian saja?” aku berkata tanpa memandang.
“Kau punya jantung, Minho. Tapi itu bukan jantungmu.”
Aku merasa tersengat listrik.
“Seseorang mendonorkan jantungnya untukmu, bahkan ginjalnya juga.”
Aku tidak tau harus merasa bagaimana, senang atau justru sedih. Bingung. Intinya aku masih hidup.
“Siapa dia?”
“Kami tidak diperkenankan memberi tau, kebijakan rumah sakit,” ucap seorang perawat.
Aku memandang wajah mereka semua. Orang-orang yang menyayangiku, aku merasa terharu diliputi rasa bahagia seperti itu.
“Kau harus melihat keluar,” kata Minsuk sambil membuka gorden.
“Memang ada apa?”
Aku mencoba turun dari tempat tidurku, dibimbing oleh Appa dan Onew Hyung.
“Lihatlah ke bawah, mereka menantimu sejak kemarin,” kata Minsuk.
Aku terkejut melihat lautan manusia terlihat dari jendela. Mereka berteriak begitu aku menyibakkan gorden.
“Oppa!” teriak mereka. Wow aku sampai bisa mendengarnya. Aku merasa terharu.
Aku melihat spanduk besar ucapan selamat ulang tahun untukku. Aku menitikkan air mata. Ya ampun hari ini aku ultah ya? Sampai lupa. Sungguh beruntungnya aku, mendapatkan hidup yang baru di ulangtahun ke 20 ku. Tuhan ternyata sangat baik.
“Kau ultah kan, Hyung?” tanya Taemin.
Aku hanya ber hem-hem ria.
“Bagaimana kalau kita rayakan ulang tahunmu kali ini? Sekalian dengan kesembuhanmu,” saran Appa.
“Ya ampun, Appa ini apa-apaan sih. Kayak anak kecil ah. Lagian aku juga belum sembuh,” kataku.
“Ya anggap aja merayakan kehidupanmu,” ujar Changmin Hyung sambil merangkulku.
“Oh oke-oke. Payah kalau semua mulai memaksa begini,” aku menggerutu.
Mereka semua cuma tertawa.
“Gantilah pakaianmu, Minho. Kau benar-benar…mengerikan,” ucap YoonA Noona.
Aku melihat tubuhku. Pakaian yang sama dengan kemarin. Dan benar saja. Aku lebih mirip vampire yang habis makan manusia. Penuh darah.
“Oya, kami akan memberimu waktu. Bersihkanlah dirimu. Sekalian mempersiapkan pesta,” kata Umma yang masih dirangkul Appa sejak tadi.
“Memangnya aku boleh keluar rumah sakit?” tanyaku.
“Rumah sakit ini punya ruangan yang cukup luas untuk itu,” kata Minsuk Hyung.
“Lapangan basket,” aku menyimpulkan.
Seorang perawat membantuku melepas infuse ku.
“Panggil aku jika kau sudah selesai” ucapnya.
Aku mengangguk.
Mereka keluar dari kamar rawatku. Ruangan menjadi terasa besar. Aku mencari pakaian di almari kecil Di samping kaca besar. Ini sih bukan kamar rawat, lebih mirip apartemen, batinku.
“Hai,” sapa seseorang.
Aku melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Dan bukannya tadi aku tidak mendengar suara? Tidak ada suara. Aku bergidik.
“Kau kelewat sehat tau gak, Minho,” seseorang mengajakku bicara.
“Kau siapa?” tanyaku. Bersuara.
Bukan. Aku tadi tidak mendengar suara. Tidak ada suara kecuali kerumunan di bawah. Itu juga tidak terlalu berisik. Seperti… ada di pikiranku.
“Aku juga bingung sih, Minho. Kenapa bisa begini. Mungkin karena kau punya jantung dan ginjalku?” dia mengobrol sendiri.
Percakapan ini benar-benar tanpa suara. Opsi pertama, aku sudah gila karena merasa ada seseorang. Opsi kedua, aku bermain pikiran.
“Kau gak gila kok,” katanya.
Aku malah terpaku di depan kaca. Memandangi bayangan tubuhku.
“Kau ganteng banget tau gak?” katanya sambil tertawa.
“Trims,” kataku akhirnya.
Bodoh. Ini kelewat bodoh. Aku berasa ngomong sendiri sama diriku.
“Lebih tepatnya sama pikiranku sih, Minho. Pikiran kita bisa saling berbicara,” jelasnya.
“Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Tanya pada Tuhan.”
Aku membayangkan dia sedang mengangkat bahu sambil mengangat alisnya.
“Kau cewek kan?” tanyaku.
“Aham. Dari mana kau tau?” tanyanya.
“Insting. Kalau kau laki mana mungkin bilang aku tampan.”
“Jangan kepedean gitu deh, Minho. Kau jadi mirip sama Jonghyun tau gak?”
Kepalaku sakit jadi aku memejamkan mata. Kemudian aku melihat kenangan masa lalu. Seakan itu pernah terjadi padaku. Ummanya meninggal, Appanya, kakaknya, dia. Konser Shinee. Dan hal-hal lain. Semuanya.
“Kenapa aku bisa tau itu?” tanyaku. Agak kesal.
“Err maaf sih, Minho. Aku cuman sedang memikirkan mereka. Aku gak yakin mereka baik-baik saja.”
“Aku gak ngerti.”
“Aku tukar nyawa sama kamu. Ya aku gatau sih tapi Tuhan ngijinin cuman kupikir aku rada seperti benalu gini. Mending gak ada sekalian deh.”
“Tukar nyawa? Emang bisa?”
“Ya anggep gitu deh. Aku kan gak ngerti geblek. Memangnya aku Tuhan apa. Aku kan cuma berdoa gitu aja sama Tuhan.”
“Berarti kamu tadi minta sama Tuhan? Ngapain sih repot-repot. Aku gak butuh bantuanmu,” kataku marah.
Dia sepertinya sangat syok dengan kata-kataku. Dia menjadi tidak berdaya.
“Aku cuma ingin kamu tetep hidup. Kamu gak tau gimana perasaan fansmu seandainya mereka kehilangan kamu! Aku juga gak mau jadi benalu buatmu kok! Aku kan udah bilang lebih baik gak ada daripada jadi benalu gini!” ucapnya.
Setiap kata seakan menohokku keras. Aku yakin dia sedang menangis saat ini. Aku bisa merasakan perasaannya. Aku terlalu tega? Tapi aku membencinya.
“Apa kau tau pikiranku dan perasaanku saat ini?” tanyaku. Agak merasa bersalah karena memikirkan bahwa aku membencinya.
“Ng ng… Enggak sepertinya. Aku cuma tau kalau kau emang membaginya denganku. Tapi kau bakal selalu tau pikiranku.”
Aku ingat untuk apa aku tadi ditinggal sendirian. Aku mengambil kaos hitam. Aku membuka bajuku. Dia melompat kaget. Aku diam sejenak.
“Ya ampun kau gak kalah seksi sama yang di foto!” batinnya. Aku tau dia gak berniat mengutarakannya padaku.
Aku malah memandangi bayanganku. Benarkah? Sebegitu menawannya aku bagi dia? ya ampun ngomong apa sih. Jangan sombong, Minho. Aku mengingatkan diriku sendiri.
“Aku mau ganti baju. Kamu pergi dulu deh!” kataku. Agak membentaknya.
Tiba-tiba dia hilang. Tak ada lagi pikiran-pikiran lain selain pikiranku sendiri. Aku bergegas mengganti pakaianku. Kemudian memasukkan pakaianku tadi ke keranjang cucian.
“Udah?” tanyanya.
Aku terlonjak kaget.
“Lain kali jangan ngagetin. Kok bisa hilang tiba-tiba?”
“Mana aku tau. Aku cuma coba memikirkan menutup pintu karena kau mau ganti. Anggap aja gitu. Suwer aku gak ngintip. Kau tau kan aku gak liat apa-apa? Tenang nanti kalau kau lagi mandi aku juga bakal hilang kok,”katanya. Aku mengakui bahwa dia jujur.
“Kenapa gak bisa hilang selamanya?” tanyaku. Dia tersentak. Reaksinya melalui tubuhku.
“Kau bisa mengendalikanku?” tanyaku lagi.
“Aku gak tau,” jawabnya lemah. Menjawab dua pertanyaan sekaligus. Dia agak tersinggung sepertinya.
Aku diam saja.
“Udah seleai belum sih, Minho?” tanya kakakku. Dia menjulurkan kepalanya.
“Aku gausah mandi ya?”
“Oke. Tapi ke kamar mandi dulu sana, cuci muka, sikat gigi. Pakai parfum biar wangi.”
“Oke Hyung. Siap!” kataku langsung bergegas melaksanakannya.
Aku memakai jas hitam agar terlihat lebih formal.
“Pakai yang abu. Kaosmu sudah hitam,” sarannya.
Aku mengembalikan jas hitamku dan menggunakan yang warna abu.
Kesimpulannya, aku tidak peduli dengan dia ada di sana atau tidak. Kedua, aku membencinya itu pasti, walau sebenarnya separuh hatiku menolak kejahatan pribadiku. Alasan kebencianku? Aku seakan tidak memiliki privasi. Hal lain? Tukar nyawa masih menjadi tanda tanya.
“Maaf,” katanya. Sepertinya aku tidak sengaja membuka pikiran.
“Enyahlah!”
Dia menghilang. Entah ke mana. Intinya otakku hanya berisi pikiranku. Cukup melegakan. Toh aku kan bakal senang-senang. Well, setidaknya aku bisa membagi kebahagianku dulu dengan para fans yang seharian menungguku di sana. Mereka juga diundang sepertinya.
Aku bergegas keluar kamar dan mengunci pintunya. Aku harus membahagiakan diriku sekarang, sudah lama aku tidak merasa bahagia. Setidaknya tidak sejak… dokter itu. Aku kaget. Ah sudahlah, malah memikirkan itu. Payah. Merusak suasana deh. Well, let’s start the party!